Shinta adalah seorang dokter muda. Dia baru saja menamatkan
pendidikannya pada sebuah universitas ternama di Sumatera. Selain
kecerdasannya yang mengantarkan dirinya meraih gelar dokter. Shinta juga
merupakan gambaran profil generasi muda masa kini. Disamping sebagai
gadis yang sangat cantik, Shinta yang berusia 24 tahun ini juga lincah
dan intelek dan dikenal oleh teman-temannya sebagai gadis yang cinta
lingkungan dan masalah sosial budaya. Dia sangat senang dengan
petualangan alam.
Selama 2 tahun terakhir di kampusnya Shinta dipercaya teman-temannya
menjadi Ketua Group Pecinta Alam. Sangat kontras memang. Dilihat dari
penampilan fisiknya yang demikian cantik dan lembut Shinta adalah ahli
bela diri Kung Fu pemegang sabuk hitam. Disamping itu dia juga sebagai
pemanjat tebing yang handal dan juga beberapa kali telah mengikuti
kegiatan arung jeram dengan menelusuri sungai-sungai ganas di seputar
Sumatera.
Sebagaimana dokter baru ia harus menjalani masa PTT pada sebuah desa
yang jauh dari tempat tinggalnya. Reaksi orang tuanya dalam hal ini
ibunya dan Rudi tunangannya adalah sangat keberatan saat mendengar bahwa
dia harus bertugas di desa terpencil itu. Ibu Shinta sangat menyayangi
Shinta. Beliaulah yang terus mendorong sekolah Shinta hingga lulus
menjadi dokter. Orang tua Shinta cerai saat Shinta masih kecil. Sampai
tamat dokter Shinta mengikuti ibunya. Shinta tak pernah kenal dan tahu
bagaimana dan dimana ayahnya sekarang.
Selain jauh dari kotanya daerah itu masih sangat terbelakang dan
terisolir. Bayangkan, untuk mencapai daerah itu orang harus seharian
naik bus antar kota, kemudian disambung dengan ojek hingga ke tepian
desa yang dimaksud. Di desanya sendiri yang sama sekali tak ada sarana
transportasi juga belum terjangkau oleh penerangan listrik. Tak ada TV
dan belum ada sambungan pesawat telpon maupun antene repeater untuk
penggunaan hand phone.
Ibunya minta pamannya yang adik kandung ibunya bersama Rudi tunangannya
untuk menyempatkan diri meninjau langsung desa itu. Sepulang dari desa
tersebut mereka menyatakan bahwa betapa berat medan yang akan dihadapi
oleh Shinta nantinya. Mereka khawatir dan cemas pada Shinta yang
rencananya pada bulan Haji nanti akan dinikahkan dengan Rudi. Shinta dan
Rudi telah bertunangan selama hampir 2 tahun. Rudi sendiri adalah
seorang insinyur pertanian yang telah bekerja di Dinas Pertanian
Kabupaten. Tetapi semua kecemasan dan kekhawatiran orang tua dan
tunangannya itu tidak terlampau ditanggapi oleh Shinta.
Untuk lebih menghayati cerita selanjutnya, biarlah Shinta sendiri yang
menceriterakan kisah yang dialaminya sebagaimana yang tertera di bawah
ini,
Cerita Shinta
Aku sendiri justru sangat tertantang oleh kondisi desa itu. Idealisku
muncul dan mendorong aku untuk terus maju saat kupelajari keadaan
geografi, sosial demografi dan sosial ekonomi dan budaya lokal
masyarakat desa itu. Aku berketatapan hati tak akan mundur oleh
tantangan yang sungguh romantik itu. Aku ingin bisa membagi ilmu dan
pengetahuanku dan ketrampilan serta pengalamanku bagi masyarakat di desa
itu. Aku ingin bisa mengabdikan diriku pada mereka yang serba
kekurangan dan penuh keterbelakangan itu. Dan pada akhirnya karena
sikapku yang cerah dan tegar maka baik ibu maupun tunanganku mendukung
PTT-ku di desa terpencil itu.
Setelah melalui 1 hari perjalanan yang melelahkan dengan diantar oleh
paman dan Mas Rudi aku sampai di desa penuh tantangan itu. Kami di
sambut oleh perangkat desa itu dan kepala dusun. Seorang tetua yang juga
kepala dusun yang bernama Pak Tanba secara spontan meminjamkan salah
satu ruangan di rumahnya untuk kubuat poliklinik sederhana.
Sesudah 2 hari membuat persiapan tempat praktek dokter dan acara
peresmian ala kadarnya aku diterima resmi oleh masyarakat sebagai dokter
di desa itu. Aku juga akan memberikan pelayanan kesehatan ke desa-desa
di sekitar desaku. Dengan pesan-pesan serta berbagai wanti-wanti, paman
bersama Rudi pulang kembali ke kota dengan meninggalkan aku yang telah
siap untuk memulai tugasku. Sesaat sebelum beranjak aku memandangi Rudi.
Dari matanya aku membaca kerinduan yang hinggap. Dia akan rindu kapan
akan kembali saling membelai. OK, Rud. Ini khan hanya untuk waktu 6
bulan. Dan kita akan menikah sesudahnya, bukan?!
Pada hari pertama aku diajak keliling desa oleh Pak Tanda bersama aparat
desa untuk dikenalkan kepada masyarakat desa itu. Pada hari-hari
selanjutnya aku menunggu masyarakat yang memerlukan bantuanku di
poliklinik. Apabila diperlukan aku juga akan mendatangi pasien yang
tidak mampu mengunjungi tempat praktekku. Hari-hari pertama bertugas aku
dibantu oleh kader kesehatan yang telah aku beri pelatihan sederhana.
Pada saat yang sangat diperlukan Pak Tanba bersedia membantu untuk
mengantar aku melayani panggilan dari masyarakat.
Orang-orang desa itu telah mafhum akan kelebihan Pak Tanba. Dia sangat
akrab dan disenangi masyarakat di sekitarnya. Dia merupakan orang yang
paling kaya untuk ukuran desa itu namun sama sekali tidak menunjukkan
kesombongan. Dengan usahanya selaku pengumpul hasil bumi Pak Tanba bisa
memiliki beberapa rumah di desa itu dan beberapa lagi di desa
sekitarnya.
Yang lebih hebat lagi, Pak Tanba yang usianya sudah lebih 65 tahun itu
mampu memiliki 3 orang istri. Artinya disamping mampu dalam arti
materiil, Pak Tanba juga memiliki kemampuan lahiriah yang sangat baik.
Tubuhnya masih nampak sehat dan tegar dan selalu siap melakukan
kewajibannya untuk memberikan nafkah lahir batin kepada para istrinya.
Wajahnya yang keras tetapi penuh wibawa memberikan kesan 'melindungi'
pada siapapun yang dekat dengannya. Dan memang demikianlah, Pak Tanba
orang yang ringan tangan dan kaki untuk memberikan pertolongan pada
orang lain, pada masyarakat desanya atau siapapun.
Istri-istri Pak Tanba boleh dibilang bukan perempuan sembarangan. Istri
pertamanya Rhayah, usianya telah 57 tahun. Dialah 'permaisuri'
sesungguhnya dari Pak Tanba. Dari Rhayah lahir 3 anaknya yang telah
dewasa dan berumah tangga. Pada Rhayah, Pak Tanba menunjukkan bagaimana
dirinya sebagai suami yang selalu memberikan nafkah lahir bathin tanpa
pernah pilih kasih pada yang lebih muda atau lebih cantik.
Istri ke 2-nya adalah Siti Nurimah. Seorang janda dari desa yang cukup
jauh dari desanya. Siti Nurimah adalah perempuan yang memiliki toko
klontong di desanya. Dari Nurimah Pak Tanba memiliki 2 orang anak yang
masih bersekolah. Nurimah sangat baik hatinya. Dia tak pernah menunjukan
iri atau cemburu pada istri Pak Tanba yang lain.
Kemudian istrinya yang terakhir masih sangat muda. Umurnya 19 tahun. Dia
masih perawan saat dikawini Pak Tanba. Karena jasa Pak Tanba pada
keluarganya, Halimah demikian namanya yang berperangai halus dan cantik
itu rela menjadi istri ke 3 Pak Tanba. Sikapnya selalu hormat pada Pak
Tanba dan para istrinya yang terdahulu. Sehari-hari Halimah adalah guru
SD di desanya. Saat ini Halimah sedang mengandung 9 bulan. Diperkirakan
dia akan melahirkan dalam waktu dekat ini.
Aku sering berpikir bahwa koq ada orang macam Pak Tanba. Pendidikannya
yang rendah, dia hanya tamatan SD, tidak membuatnya menjadi orang kecil.
Aku menilai Pak Tanba adalah 'orang besar' dalam arti sesungguhnya. Dia
orang yang selalu pegang komitmen, terlihat pada bagaimana hubungannya
dengan para istrinya. Dia juga seorang yang pekerja keras dan senang
melakukan kegiatan sosial demi kebahagiaan orang banyak. Tak pernah aku
mendengar keluhannya selama dia membantu tugas-tugasku. Dia selalu
menunjukkan kegembiraannya.
Dan yang juga aku kagumi, dia jarang lelah atau sakit. Dia nampak selalu
sehat. Tubuhnya sendiri yang nampak cukup gempal kondisinya sangat
segar tanpa penyakit. Dengan rambutnya yang masih hitam dan tebal,
giginya yang tetap utuh di tempatnya dan sorot matanya yang demikian
energik, sepintas orang yang melihatnya akan terkesan umur Pak Tanba
paling sekitar 50 tahunan. Atau lebih muda 15 tahun dari umur yang
sebenarnya. Dan satu hal yang mungkin membuatnya mudah mendapatkan
istri, tampang dan gayanya yang simpatik. Tidak tampan tetapi enak
dilihatnya.
Dalam kegiatannya selaku pengumpul hasil bumi Pak Tanba banyak
berkeliling ke desa-desa disekitarnya dengan mengendarai sepeda motor.
Di saat tak ada kegiatan dengan senang hati Pak Tanba juga meminjamkan
motornya kepadaku untuk keperluan mendatangai pasienku yang tinggal jauh
dari desa. Bahkan apabila keadaannya sangat genting Pak Tanba turun
tangan sendiri membantu aku dengan memboncengkan menuju ke tempat
tinggal pasienku.
Pelayanan kesehatan di tengah-tengah masyarakat desa yang terpencil ini
boleh dibilang tidak mengenal waktu. Beberapa kali aku harus menerima
panggilan dari pasienku jauh di tengah malam. Dan tentu saja hanya
dengan bantuan Pak Tanba aku bisa memenuhi panggilan dan kewajibanku
itu.
Tak terasa kegiatanku yang terus merangkak telah memasuki bulan ke 4.
Aku telah mengenal dan dikenal banyak orang di desaku maupun desa-desa
disekitarnya. Selama itu pula Pak Tanba telah menunjukkan betapa dia
telah membantu aku dengan tidak tanggung-tanggung demi kesejahteraan
serta kesehatan masyarakat di desanya. Aku benar-benar respek dengan
'goodwill'-nya Pak Tanba ini. Bahkan aku sering merasa terharu manakala
dalam mengantar aku sering mendapatkan berbagai kesulitan. Terkadang ban
motornya yang meletus, atau mesin yang ngadat sehingga tak jarang dia
mesti menuntun motornya dengan berjalan kaki dalam jarak yang cukup
jauh.
Dalam kesempatan yang lain kami sering terjebak dalam jalanan yang licin
bekas hujan. Dengan terseok-seok dia mesti mendorong motornya melewati
lumpur dan beberapa kali terpeleset jatuh hingga pakaiannya belepotan
lumpur. Aku sendiri tak bisa berbuat banyak pada kondisi macam itu. Yang
kumiliki hanyalah rasa iba yang tak mungkin berbagi padanya.
Di lain pihak kami berdua sering menrasakan suatu kepuasan batin.
Manakala upaya menolong orang sakit atau sesekali ibu-ibu yang
melahirkan dan semuanya berakhir dengan selamat dan sukses kami sungguh
merasa sangat bahagia. Terkadang kebahagiaan itu kami ungkapkan dengan
sangat spontan. Kami saling berpelukan karena perasaan bahagia atas
sukses yang begitu banyak menuntut pengorbanan.
Dari berbagai macam hal yang penuh suka duka macam itu hubunganku dengan
Pak Tanba menjadi semakin emosional. Kami bukan semata berhubungan
dengan tugas atau kewajiban semata. Tetapi kami semakin merasakan apa
yang membuat Pak Tanba senang atau susah akupun ikut merasakan senang
atau susahnya. Demikian pula sebaliknya.
Terkadang terlintas dalam pikiranku, alangkah bahagianya istri-istrinya
memiliki suami macam Pak Tanba yang sangat 'concern' pada peranannya
sebagai suami maupun sebagai manusia yang merupakan bagian dari manusia
lainnya. Sungguh langka seorang suami macam Pak Tanba.
Aku sendiri merasakan betapa 'adem' saat Pak Tanba hadir di dekatku.
Perasaan yang tak pernah kudapatkan sebelumnya. Seakan didekatku ada
pelindung. Ada yang memperhatikan dan membantu saat aku mendapatkan
masalah. Adakah begitu yang diberikan seorang 'ayah' pada putrinya?
Adakah aku merindukan 'ayah' yang hingga kini aku tak pernah mengenal
dan tahu dimana keberadaannya? Perasaan 'menyayangi' secara tulus, aku
menyayangi Pak Tanba dan Pak Tanba menyanyangi aku merupakan wujud nyata
yang mengiringi setiap kebersamaanku dengan dia.
Dan anehnya, ini aku akui, aku resah kalau tak ada Pak Tanba. Aku
gelisah kalau tak berjumpa dengannya. Misalnya aku kehilangan
konsentrasi kerja saat dia sedang menggilir istrinya barang 1 atau 2
hari. Aku sering merenungi kenapa perasaanku aku jadi sangat tergantung
pada Pak Tanba. Dan perasaan resahku itu semakin dalam dan mendalam dari
hari ke hari.
Pada suatu malam, sekitar pukul 9 malam ada orang dari desa sebelah
bukit dan ladang yang datang. Istrinya sedang diserang demam dan
meracau. Dia panik dan kemudian dengan ditemani tetangganya dia
mendatangi aku minta pertolongan. Kebetulan saat itu ada Pak Tanba yang
baru pulang dari mengurus dagangan hasil bumi dari desanya. Tanpa
menunjukkan kelelahan atau kejenuhan Pak Tanba menyarankan agar aku
lekas mengunjungi orang sakit itu. Dia siap untuk mengantar aku. Sesudah
menanyakan letak rumahnya secara jelas dia minta pamit untuk mendahului
pulang. Dengan berjalan kaki mereka bisa memotong jalan hingga
kemungkinan dia akan lebih dahulu sampai dari pada aku. Mereka akan
menunggu kami di pintu desa.
Sesudah aku menyiapkan alat-alat yang diperlukan kami berangkat ke desa
yang dimaksud. Aku melihat langit begitu gelap. Sesekali nampak kilat
menerangi pepohonan.
"Wah, ini mau hujan kelihatannya, Pak Tanba ",
"Iya nih, Bu dokter, Mudah-mudahan nantilah hujannya sesudah semua urusan rampung",
Namun aku tak khawatir. Selama Pak Tanba ada di dekatku sepertinya
segala hambatan hanya untuk dia. Dia akan menghadapinya untuk aku.
Karena jalan desa yang tak mulus macam di kota, aku harus erat-erat
memeluk pinggang Pak Tanba agar tak terlempar dari boncengan motornya.
Memang demikianlah setiap kali kami berboncengan. Dan kalau badan yang
seharusnya tidur ini masih harus bepergian, maka kantukku kusalurkan
dengan menempelkan kepalaku ke punggung Pak Tanba. Dia nggak keberatan
atas ulahku ini.
"Tidur saja Bu dokter, jalannya masih cukup jauh".
Perjalanan itu hampir memakan waktu 1 jam. Mungkin hanya 10 menit kalau
jalanannya macam jalan aspal di kota. Sampai di pintu desa nampak mereka
yang menjemputku. Masih beberapa rumah dan kebon yang mesti kami
lewati. Aku mendapatkan seorang perempuan yang sedang menggigil karena
demam yang tinggi. Sesudah kuperiksa dia kuberi obat-obatan yang
diperlukan. Kepada suami dan kerabatnya yang di rumah itu aku
berkesempatan memberikan sedikit penerangan kesehatan. Aku sarankan
banyak makan sayur dan buah-buahan yang banyak terdapat di desa itu.
Bagaimana mencuci bakal makanan sehingga bersih dan sehat. Jangan
terlalu asyik dengan ikan asin. Kalau berkesempatan buatlah kakus yang
benar. Perhatikan kebersihan rumah dan sebagainya. Terkadang Pak Tanba
ikut melengkapi omonganku. Dari sekian puluh kali dia mengantar aku,
akhirnya dia juga menguasai ilmu populer yang sering kusiarkan pada
penduduk itu.
Saat pulang, kilat dari langit makin sering dengan sesekali diiringi
suara guntur. Jam tanganku menujukkan pukul 10.30 malam. Ah, hujan, nih.
Pak Tanba mencoba mempercepat laju kendaraannya. Angin malam di
pedesaan yang dingin terasa menerpa tubuhku.
Kira-kira setengah perjalanan kami rasakan hujan mulai jatuh. Lampu
motor Pak Tanba menerangi titik-titik hujan yang seperti jarum-jarum
berjatuhan. Aku lebih mempererat peganganku pada pinggulnya dan lebih
menyandarkan kepalaku ke punggungnya untuk mencari kehangatan dan
menghindarkan jatuhan titik-titik air ke wajahku.
Hujan memang tak kenal kompromi. Makin deras. Aku pengin ngomong ke Pak
Tanba agar berteduh dulu, tetapi derasnya hujan membuat omonganku tak
terdengar jelas olehnya. Dia terus melaju dan aku semakin erat memeluki
pinggulnya. Tiba-tiba dia berhenti. Rupanya kami mendapatkan dangau
beratap daun nipah yang sepi di tepi jalanan. Aku ingat, dangau tempat
jualan milik orang desa sebelah. Kalau siang hari tempat ini dikunjungi
orang yang mau beli peniti, sabun atau barang-barang kebutuhan lain yang
bersifat kering. Ada 'amben' dari bambu yang tidak luas sekedar cukup
untuk duduk berteduh. Pak Tanda lekas menyandarkan motornya kemudian
lari kebawah atap nipah. Aku menyilahkannya duduk.
"Sini Pak, cukup ini buat berdua,"
Dan tanpa canggung dia mendekat ke aku dan sambil merangkulkan tangannya ke pundakku duduk di sampingku.
"Ibu kedinginan?"
"Iyalah, Pak.." sambil aku juga merangkul balik pinggangnya dengan rasa akrab.
Untuk beberapa saat kami hanya diam mendengarkan derasnya hujan yang
mengguyur. Omongan apapun nggak akan terdengar. Suara hujan yang seperti
dicurahkan dari langit mengalahkan suara-suara omongan kami. Beberapa
kali aku menekan pelukanku ke tubuh Pak Tanba untuk lebih mendapatkan
kehangatannya. Kepala dan wajahku semakin rebah menempel ke dadanya.
Aku nggak tahu bagaimana mulanya. Kudengar dengusan nafas Pak Tanba di
telingaku dan tahu-tahu kurasakan mukanya telah nyungsep ke leherku. Aku
diam. Aku pikir dia juga perlu kehangatan. Dan aku merasakan betapa
damai pada saat-saat seperti ini ada Pak Tanba. Aku juga ingin membuat
dia merasa senang di dekatku.
Tiba-tiba dia menggerakkan kecil wajahnya dan leherku merasakan bibirnya
mengecupku. Aku juga diam. Aku sendiri sesungguhnya sedang sangat
lelah. Ini jam-jam istirahatku. Kondisi rasio dan emosiku cenderung
malas. Aku cenderung cuek dan membiarkan apa maunya. Aku nggak perlu
mengkhawatirkan ulah Pak Tanba yang telah demikian banyak berkorban
untukku. Dan aku sendiri yang semakin kedinginan karena pakaianku yang
basah ditambahi oleh angin kencang malamnya yang sangat dingin merasakan
bibir itu mendongkrak kehangatan dari dalam tubuhku. Bahkan kemudian
aku juga tetap membiarkan ketika akhirnya kurasakan kecupan itu juga
dilengkapi dengan sedotan bibirnya. Aku hanya sedikit menghindar.
"Aiihh.." desahku tanpa upaya sungguh-sungguh untuk menghindar. Hingga kudengar.
"Bb.. Bu dokteerr.." desis bisik setengah samar-samar di tengahnya suara hujan yang semakin deras menembusi gendang telingaku.
"Buu.." kembali desis itu.
Dan aku hanya, "Hhmm.."
Aku nggak tahu mesti bagaimana. Aku secara tulus menyayangi Pak Tanba
sebagai sahabat dan orang yang telah demikian banyak menolong aku. Aku
menyayanginya juga karena adanya rasa 'damai dan terlindungi' saat dia
berada di dekatku. Aku juga menyayanginya karena rasa hormatku pada
seorang lelaki yang begitu 'concern' akan nilai tanggung jawabnya. Aku
menyayangi Pak Tanba sebagai bentuk hormatku pada seorang manusia yang
juga mampu menunjukkan rasa sayangnya pada sesama manusia lainnya.
Adakah aku juga menyayangi karena hal-hal lain dari Pak Tanba yang
usianya mungkinlebih tua dari ayahku? Adakah aku sedang dirundung oleh
rasa sepiku? Adakah aku merindukan belaian seorang ayah yang belum
pernah kujumapi? Adakah aku merindukan belaian Rudi tunanganku?
Sementara aku masih gamang dan mencari jawab, kecupan dan sedotan bibir
dengan halus melata pelan ke atas menyentuhi kupingku yang langsung
membuat darahku berdesir.
Jantungku tersentak dan kemudian berdenyut kencang. Tubuhku tersentak
pula oleh denyut jantungku. Rasa dingin yang disebabkan angin malam dan
pakaian basah di tubuhku langsung sirna. Kegamanganku menuntun tanganku
untuk berusaha mencari pegangan. Dan pada saat yang bersamaan tangan
kiri Pak Tanba mendekap tangan-tanganku kemudian tangan kanannya
merangkul untuk kemudian menelusup ke bawah baju basahku. Dia meraba
kemudian mencengkeramkan dengan lembut jari-jarinya pada buah dadaku.
Kemudian juga meremasinya pelan. Darahku melonjak dalam desiran tak
tertahan. Jari-jari tangannya yang kasar itu menyentuh dan menggelitik
puting susuku. Aku tak menduga atas apa yang Pak Tanba lakukan ini.
Tetapi aku tak hendak menolak. Aku merasakan semacam nikmat. Aku
menggelinjang berkat remasan tangan Pak Tanba pada susuku. Aku langsung
disergap rasa dahaga yang amat sangat.
Dengan sedikit menggeliat aku mendesah halus sambil sedikit menarik
leher dan menengadahkan mukaku. Sebuah sergapan hangat dan manis
menjemput bibirku. Bibir Pak Tanba langsung melumat bibirku. Oocchh..
Apa yang telah terjadi.. Apa yang melandaku dalam sekejab ini.. Apa yang
melemparkan aku dalam awang tanpa batas ini.. Dimana orbitku kini..
Seperti burung yang terjerat pukat, aku merasakan ada arus yang mengalir
kuat dan menyeretku. Namun aku tak berusaha mencari selamat. Aku justru
kehausan dan ingin lebih lumat larut dalam arus itu. Tanganku bergerak
ke atas. Kuraih kepala Pak Tanba dan menarik menekan ke bibirku. Aku
ingin dia benar-benar melumatku habis.
Aku mau dahagaku terkikis dengan lumantannya. Aku menghisap bibirnya.
Kami saling melumat. Lidah Pak Tanba meruyak ke mulutku dan aku
menyedotinya. Aku langsung kegerahan dalam hujan lebat dan dinginnya
malam pedesaan itu. Tubuhku terasa mengeluarkan keringat. Mungkin
pakaianku mengering karena panas tubuhku kini.
"Mmmhh.." desahnya.
"Mllmmhh.." desahku.
Aku tak tahu lagi apa yang berikutnya terjadi. Aku hanya merasa Pak
Tanba merebahkan tubuhku ke 'amben' bambu itu sambil mulutnya terus
melumati bibirku. Dan tanganku tak lepas dari pegangan di kepalanya
untuk aku bisa lebih menekankannya ke bibirku. Desah dan rintih yang
tertimpa bunyi derasnya hujan menjadi mantera dan sihir yang dengan
cepat menggiring kami ketepian samudra birahi. Hasrat menggelora
menggelitik saraf-saraf libidoku.
Kemudian kehangatan bibir itu melepas dari bibirku untuk melata. Pak
Tanba sesaat melumat dan menggigit kecil bibir bawahku untuk kemudian
turun melumati daguku. Aamppuunn.. Kenapa gairah ini demikian
mengobarkan syahwatku.. Ayoo.. Terus Paakk.. Aku hauss.. Pak Tanbaa..
Leherku mengelinjang begitu bibir Pak Tanba menyeranginya. Kecupan demi
kecupan dia lepaskan dan aku tak mampu menahan gejolak nafsuku. Aku
beranikan menjerit di tengah hujan keras di atas dangau sepi dekat
tepian desa ini.
"Ayyoo.. Paakk.. Aku hauss Pak Tanbaa.. ".
Aku menggelinjang kuat. Aku meronta ingin Pak Tanba merobek-robek nafsu birahiku. Aku ingin dia cepat menyambut dahagaku.
Tiba-tiba tangan Pak Tanba merenggut keras baju dokterku. Dia renggut
pula blusku. Semua kancing-kancing bajuku putus terlepas. Pak Tanba
menunjukkan kebuasan syahwat hewaniahnya. Duh.. Aku jadi begitu terbakar
oleh hasrat nikmat birahiku. Aku merasakan seorang yang sangat jantan
sedang berusaha merampas kelembutan keperempuananku. Dan aku harus
selekasnya menyerah pada kejantanannya itu.
Dia 'cokot'i buah dadaku. Dia emoti susu-susuku. Di gigit-gigit
pentil-pentilku. Sambil tangannya mengelusi pinggulku, pantatku, pahaku.
Ciuman-ciumannya terus menyergapi tubuhku. Dari dada turun ke perut dan
turun lagi.. Turun lagi.. Aku benar-benar terlempar ke awang lepas. Aku
memasuki kenikmatan dalam samudra penuh sensasi. Semua yang Pak Tanba
lakukan pada tubuhku belum pernah aku rasakan sebelumnya. Aku sama
sekali tak mempertimbangkan adanya Rudi tunanganku itu.
Dan yang lebih-lebih menyiksaku kini adalah rasa gatal yang sangat di
seputar kemaluanku. Tanpa mampu kuhindarkan tanganku sendiri berusaha
menggaruk elus rasa gatal itu. Dengan sigap tanpa rasa malu aku lepasi
celana dalamku sendiri. Kulemparkan ke tanah. Aku menekan-nekan bagian
atas vaginaku untuk mengurangi kegatalan itu. Aku makin merasakan cairan
birahiku meleleh luber keluar dari vaginaku.
Sensasi dari Pak Tanba terus mengalir. Kini bibirnya telah merasuk lebih
kebawah. Dia mengecupi dan menjilat-jilat selangkanganku. Dan itu
membuat aku menjadi sangat histeris. Kujambaki rambut Pak Tanba dalam
upaya menahan kegatalan syahwatku. Pak Tanba rupanya tahu. Bibirnya
langsung merambah kemaluanku. Bibirnya langsung melumat bibir vaginaku.
Lidahnya menjilati cairan birahiku. Kudengar.. Ssluurrpp.. Sslluurrpp..
Saat menyedoti cairan itu. Bunyi itu terdengar sangat merangsang
nafsuku.
Aku tak tahan lagi. Aku ibarat hewan korban persembahan Pak Tanba yang
siap menerima tusukan tajam dari tombaknya. Kobaran birahiku menuntut
agar persembahan cepat dilaksanakan. Aku tarik bahu Pak Tanba agar
bangkit dan cepat menikamkan tombaknya padaku. Ayoolaahh.. Paakk..
Aku tak tahu kapan Pak Tanba melepasi pakaiannya. Bahkan aku juga tak
sepenuhnya menyadari kenapa kini aku telah telanjang bulat. Pak Tanba
memang lekas merespon kobaran nafsuku. Dia telah jauh pengalamannya. Apa
yang aku lakukan mungkin sudah sering dia dapatkan dari istri-istrinya.
Dengan sigap dia naik dan menindihku dalam keadaan telah telanjang. Dia
benamkan wajahnya ke lembah ketiakku. Dia menjilati dan menyedotinya.
Sementara itu aku juga merasakan ada batang keras dan panas menekan
pahaku. Tak memerlukan pengalaman untuk mengetahui bahwa itu adalah
kemaluan Pak Tanba yang telah siap untuk menikam dan menembusi
kemaluanku. Tetapi dia terhenti. Detik-detik penantianku seakan-akan
bertahun-tahun. Dia berbisik dalam parau.
"Bu Dokter, ibu masih perawan?"
Aku sedikit tersentak atas bisikkannya itu. Yaa.. Aku memang masih
perawan. Akankah aku serahkan ini kepada Pak Tanba? Bagaimana dengan
Rudi nanti? Bagaimana dengan masa depanku? Bagaimana dengan risiko
moralku? Bagaimana dengan karirku? Dalam sekejab aku harus mengambil
sikap. Dengan sangat kilat aku mencoba berkilas balik.
Dalam posisi begini ternyata aku mampu berpikir jernih, walau sesaat.
Kemudian aku kembali ke arus syahwat birahi yang menyeretku. Aku tidak
menjawab dalam kata kepada Pak Tanba. Aku langsung menjemput bibirnya
untuk melumatinya sambil sedikit merenggangkan pahaku. Aku rela
menyerahkan keperawananku kepada Pak Tanba.
Ditengah derasnya hujan dan dinginnya pedesaan, diatas 'amben' bambu dan
disaksikan dangau beratap daun nipah di tepi jalan tidak jauh dari
pintu desaku Pak Tanba telah mengambil keperawananku. Aku tak
menyesalinya. Hal itu sangat mungkin karena rasa relaku yang timbul
setelah melihat bagaimana Pak Tanba tanpa menunjukkan pamrihnya membantu
tugas-tugasku. Dan mungkin juga atas sikapnya yang demikian penuh
perhatian padaku. Rasa 'adem' dan 'terlindungi' dari sosok dan perilaku
Pak Tanba demikian menghanyutkan kesadaran emosi maupun rasioku hingga
aku tak harus merasa kehilangan saat keperawananku di raihnya.
Sesaat setelah peristiwa itu terjadi Pak Tanba nge-'gelesot' di
rerumputan dangau itu sambil menangis di depan kakiku. Ini juga istimewa
bagiku karena aku pikir orang seperti Pak Tanba tidak bisa menangis.
"Maafkan kekhilafan saya, Bu Dokter. Saya minta ampuunn.."
Tetapi aku cepat meraihnya untuk kembali duduk di 'amben'. Bahkan aku
merangkulinya. Bahkan sambil kemudian menjemput bibirnya dan kembali
melumatinya aku katakan bahwa aku sama sekali rela atas apa yang Pak
Tanba telah lakukan kepadaku. Malam itu sebelum beranjak pulang kami
sekali lagi menjemput nikmat syahwat birahi. Tanpa kata-kata Pak Tanba
menuntunku bagaimana supaya aku bisa meraih orgasmeku. Dia bimbing aku
untuk menindih tubuhnya yang kekar itu. Dia tuntun kemaluannya untuk
diarahkan ke kemaluanku. Kemudian dia dorong tarik sesaat sebelum aku
berhasil melakukannya sendiri. Betapa sensasi syahwat langsung
menyergapku. Aku mengayun pantat dan pinggulku seperti perempuan yang
sedang mencuci di atas penggilesan. Hanya kali ini yang berayun bukan
tanganku tetapi pantat dan pinggulku. Aku berhasil meraih orgasmeku
secara beruntun menyertai saat-saat orgasme dan ejakulasinya Pak Tanba
yang kurasakan pada kedutan-kedutan kemaluannya yang disertai dengan
panasnya semprotan sperma kentalnya dalam liang sanggamaku.
Aneh, saat kami bersiap pulang langit mendadak jadi terang benderang.
Bahkan bulan yang hampir purnama membagikan cahayanya mengenai pematang
sawah di tepian jalan itu. Sebelum Pak Tanba menarik motornya dia sekali
lagi meraih pinggangku dan kembali memagut bibirku kemudian.
"Bu Dokter maukah kamu menjadi istriku?,"
Aku tak menjawab dalam kata pula. Aku hanya mencubit lengannya yang dibalas Pak Tanba dengan 'aduh'.
Dalam keremangan cahaya bulan kami memasuki desa tantanganku. Aku
merenungi betapa desa ini telah memberiku banyak arti dalam hidupku. Dan
pada dini pagi yang dingin itu kutetapkan hatiku. Aku akan mengabdi
pada desa tantanganku ini. Aku akan jadi dokter desa dan tinggal bersama
suamiku sebagai istri ke.4 Pak Tanba yang sangat baik itu.
Saat pamanku datang menjemput dan kebetulan tanpa disertai Rudi karena
sedang bertugas di luar kotanya semuanya kuceritakan kepadanya.
Kusampaikan bahwa dengan sepenuh kesadaranku aku telah menemukan jalan
dan pilihanku. Aku akan mengabdi di desa tantanganku. Dan aku minta
tolong untuk disampaikan kepada Rudi permohonan maafku yang telah
mengecewakannya. Dan tentu saja kepada ibuku disamping restunya yang
selalu aku perlukan.
E N D